SUMBER DARI : http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=343
Derita akibat letusan Merapi 26 Oktober lalu, masih terasa. Korban masih trauma. Namun, janji kesuburan setelah letusan, membuat kaki tak ragu menjejak tanah yang masih diselimuti debu.
Jutaan meter kubik material batuan dan pasir kualitas nomor satu seolah menghapus derita warga. Merapi menunjukkan kearifannya sebagai pembawa berkah di balik bencana.
Warga yang sebelumnya bekerja sebagai petani, seusai letusan mungkin beralih profesi. Tambang pasir lebih menjanjikan.
”Paling banyak, sekali panen hasilnya Rp 750 ribu sampai Rp 1,5 juta. Itu pun kalau tanaman seperti kubis, cabai, bawang, dan sawi tidak terserang hama dan tumbuh normal,” kata Saiman, warga Dusun Deles, Cangkringan, Sleman.
Menurut Saiman, upah buruh pasir lebih besar. Mencapai Rp 350 ribu sehari. ”Menaikkan pasir ke truk cukong bisa empat sampai lima rit per hari,” ujarnya.
Jalan pintas ini bukan berarti tanpa risiko. Selain berpotensi merusak lingkungan, penambangan pasir juga merusak tatanan sosial masyarakat.
Aliran uang cepat di ceruk-ceruk tambang pasir mengundang praktik prostitusi terselubung. Perubahan drastis itu, kata Sukiman, membuat sesepuh desa risau. Cemooh sebagai desa prostitusi kemudian mampir di daerah sekitar tambang pasir.
“Warga kami dulu tidak berjudi, minum, dan medok (main perempuan). Sekarang ikut-ikutan terjerumus ke area itu. Perubahan struktur masyarakat dari bertani kemudian mengenal judi, mabuk, dan seks bebas, sejak para penambang pasir ada di Kali Gendol,” kata Saiman.
Tradisi warga lereng Merapi yang terkenal guyub dan saling peduli berubah total sejak lokasi penambangan pasir dibuka tahun 2005. Menurut Sukiman, sekarang ada lebih dari 24 lokasi penambangan pasir di Kecamatan Kemalang. Yang mengantongi izin hanya 16 pengusaha penambang pasir.
Telunjuk mengarah ke pemerintah daerah. Pemerintah seharusnya menghentikan penggalian pasir yang menghancurkan tatanan sosial masyarakat. ”Seharusnya pejabat itu menstop penggalian pasir. Kalau tidak bisa, memperketat izin. Tetapi justru merekalah yang merusak pranata sosial,” ujar Saiman.
Di sisi lain, pilihan tetap setia menjadi petani tidak terlalu menjanjikan. Meski tanah jadi subur akibat abu Merapi, ekonomi tidak akan pulih dengan cepat. Ternak dan sawah sebagai penopang ekonomi masyarakat desa, mati disapu awan panas.
”Sudah tidak punya rumah, tanaman dan hewan ternak mati semua. Bagaimana bisa bangkit seperti semula?” kata Saiman.
Di Desa Deles, misalnya, penduduk seharusnya memanen sayur pada pertengahan November. Letusan Merapi membuyarkan harapan. ”Setelah wedhus gembel turun dari puncak Merapi, semua tanaman mati,” ujar Martono menerawang. ”Kami sekarang tidak punya apa-apa lagi. Sebelumnya Merapi tidak pernah ngamuk seperti ini.”
Martono tidak sendiri. Usaha sapi perah milik Lasiyem, warga Desa Ndeles, Klaten, juga bablas disapu awan panas.
”Saya beruntung, sehari sebelum letusan kedua, diungsikan oleh tim relawan naik truk. Kalau tidak, saya tidak tahu apa jadinya,” kata Lasiyem sembari terisak. ”Semua sudah terjadi. Saya tidak tahu bagaimana mengembalikan pinjaman ke bank.”
Kesulitan hidup setelah Merapi meletus juga terbayang oleh Sumarmo, warga Desa Glagahardjo. “Bagaimana nanti keluarga saya dapat makan? Kami sudah tidak punya apa-apa. Wedhus lima ekor digondol wedhus gembel. Apa nanti dapat ganti rugi dari pemerintah?” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Klaten masih melakukan verifikasi jumlah kerugian warga akibat letusan Merapi. Kepala Bidang Peternakan Pemkab Klaten, Sri Muryanti, mengatakan pemerintah akan mengganti ternak warga melalui program pemulihan bencana.
”Pemerintah akan memberikan bantuan kepada petani yang ternaknya mati akibat letusan Merapi. Pemerintah pusat akan mengucurkan dana Rp 100 miliar untuk membantu pemulihan di 4 kabupaten yang terkena bencana,” ujar Sri Muryati.
Angin surga dari pemerintah tak membuat sejuk hati para petani korban Merapi. Sardi, misalnya, tetap harus mencari pakan ternaknya yang dititipkan di penampungan ternak di Njantiwarno.
“Mereka masih melakukan pendataan. Jangan sampai setelah dilakukan pendataan, ujung-ujungnya janji pemerintah tidak sampai ke tangan petani. Seperti saat gempa dulu juga begitu,” ujar Sardi.
Macetnya perekonomian masyarakat di kawasan bencana Merapi menimbulkan efek domino di sektor perbankan. Kredit macet, menurut Kepala Bank Indonesia Cabang Surakarta, Doni P Joewono, tinggal menunggu waktu.
Menurut Doni, kredit macet untuk pinjaman kredit usaha rakyat dapat mencapai lebih dari 50%. ”Banyak petani dan peternak terkena musibah dan mereka kehilangan modal usaha.”
Berdasarkan laporan di beberapa bank perkreditan rakyat di Kecamatan Manisrenggo dan Karangnongko, setoran kredit macet. ”Di Kecamatan Kemalang, Manisrenggo, dan Karangnongko terdapat 700 debitur dengan pinjaman Rp 6,8 miliar. Kemungkinan jumlah kredit macet bisa lebih besar,” ujar Doni P Joewono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar